Legenda Dewa Harem

Chapter 66: Sang Jenius Bela Diri Beraksi!



Chapter 66: Sang Jenius Bela Diri Beraksi!

Bersama dengan Indra, Randika menaiki bis menuju kota Cendrawasih. Dalam perjalanan mereka, Indra tidak pernah berhenti bicara.

"Kakak seperguruan apa itu?" Indra menunjuk pemandangan luar dan mulai penasaran.

"Kakak seperguruan, anjing itu mirip anjing di desa!" Indra menunjuk kedua anjing yang sedang berlari dengan majikannya.

"Oh? Kau punya anjing?" Randika bertanya.

"Bukan, biasanya aku melihatnya di hutan saat aku mencari kayu. Mereka selalu ngiler dan berteriak 'Aummm' setiap kali melihatku."

Bukankah itu serigala? Randika merasa bahwa serigala-serigala itu sudah lama menerkam Indra kalau tidak merasakan tenaga dalam Indra.

"Kakak seperguruan lihat gedung itu tinggi sekali!" Indra benar-benar seperti anak kecil.

"Hei, apakah kakak sudah pernah pergi ke sana?"

"Sudah." Randika menjawab tanpa menoleh. Dia sudah lama lelah meladeni Indra.

"Wahhh, kakak seperguruan memang hebat." Indra menatap kagum pada Randika. Percakapan mereka ini didengar oleh beberapa orang di belakang maupun depan mereka, mereka menganggap hal ini lucu.

Randika lalu menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh ke Indra, "Indra, nanti jangan panggil aku kakak seperguruanmu."

"Baik kakak senior." Indra bingung.

Randika benar-benar frustasi, dia lalu bingung harus berkata apa. Indra yang melihatnya ikut tambah bingung, "Kalau begitu aku harus memanggilmu apa?"

"Kak Randika." Randika mulai menutup matanya.

"Baiklah, nanti aku akan memanggilmu kak Randika, kakak seperguruan." Kata Indra sambil tersenyum.

Sepanjang perjalanan Indra selalu mengoceh tidak jelas dan Randika harus meladeninya sampai mereka tiba di Cendrawasih.

Setelah turun dari bis, Indra mengatakan. "Kakak seperguruan, eh maksudku kak Randika aku haus."

"Ikuti aku." Randika membawanya ke toko kelontong kecil yang ada di luar terminal dan membelikannya es teh manis.

Saat mereka sedang asyik menikmatinya, Indra melihat sesuatu. "Kak Randika, ada orang berkelahi."

Saat Randika menoleh ke arah gang yang ditunjuk Indra, dia melihat beberapa orang sedang memegang golok dan tongkat logam. Belum lagi ada sejumlah orang yang sudah meringkuk kesakitan di tanah.

Sepertinya itu pertarungan antar geng, Randika tentu tidak ingin campur dengan masalah seperti itu. Mau mereka saling bunuh, itu bukan urusannya.

Ketika dia hendak membawa Indra pergi, Indra berkata dengan nada bingung. "Kak Randika, apakah mereka sedang berkelahi? Kata guru berkelahi itu buruk."

"Bukan, bukan, itu mereka cuma berdebat saja." Randika mencium bau-bau merepotkan dan berusaha menarik Indra pergi, namun semua itu percuma karena dia tidak bisa menariknya 1 cm pun.

"Kenapa kau melototi mereka? Kau ingin berkelahi juga seperti mereka?" Randika tahu percuma berbohong terus sama Indra, yang bisa dilakukannya adalah membuatnya kehilangan rasa penasarannya.

"Tidak" Indra menggelengkan kepalanya, "Aku orang yang baik, guru mengatakan berkelahi itu kegiatannya orang jahat."

Randika tersenyum pahit, adik seperguruannya ini benar-benar polos.

"Sudah kita pergi saja dan biarkan mereka berkelahi semaunya." Kata Randika.

"Kakak tidak peduli dengan mereka?" Indra mulai ragu meninggalkan orang-orang tersebut.

"Bukankah kata guru kau harus mengikutiku?" Randika menatap Indra, "Apakah kau akan membantah perintahnya sekarang?"

Indra berpikir sesaat dan mengatakan, "Aku akan mendengarkan kakak seperguruan."

Namun, keadaan di gang semakin memanas. Terlihat dua orang sedang beradu mulut.

Salah satu mereka berteriak keras, "Ternyata cuma segitu kekuatan geng gagak?"

"Hah? Teman-temanmu sudah terkapar begitu masih berani bacot?"

"Kau kira kami takut sama kalian?" Pria ini segera membalas, "Kalian saja yang tidak sadar kalau pertarungan kita direkam sama kedua orang itu!" Pria yang sepertinya pemimpin geng ini sedang mencari cara untuk mengulur waktu agar bala bantuannya datang.

Pemimpin geng gagak itu juga dari tadi menyadari keberadaan Indra dan Randika. Dia tidak peduli dengan keduanya tetapi karena perkataan rivalnya itu, dia mulai curiga bahwa perkataannya itu benar. Gengnya terkenal di internet bukanlah pertanda bagus.

Randika baru saja berhasil membuat Indra mau pergi dari situ tetapi tiba-tiba mereka didatangi 2 orang. Kedua orang itu dengan cepat berteriak. "Kalian berdua, ikut kami!"

Randika lalu menoleh dan melihat kedua pemimpin geng yang melototi dirinya. Dia dengan santai mengatakan, "Aku hanya sedang lewat dan tak mau berurusan dengan kalian. Lanjutkan saja."

Apa?

Pemimpin geng gagak dan pemimpin satunya terkejut mendengarnya. Tidak mau berurusan? Bukankah kau sudah merekam tawuran ini? Hal ini sama seperti ketika sepasang kekasih ingin berhubungan badan dan tiba-tiba muncul seseorang dari balik pintu dan merekam kejadiannya. Apakah itu masih bisa dibilang tidak ada urusannya dengan kita?

Pemimpin geng gagak itu marah, ini sudah bukan perkara video rekaman lagi. Ini masalah harga diri!

Hei bocah, berani membantah kami?" Para preman bawahan geng gagak mulai mengayun-ayunkan senjata mereka. Mereka tidak terima tidak dihormati seperti itu.

Randika mengerutkan dahinya, secercah kilau dingin melewati matanya. Dia lalu berkata pada Indra, "Indra, berilah mereka pelajaran."

Indra segera menggelengkan kepalanya. "Kak, guru mengatakan bahwa aku tidak boleh bertarung sembarangan."

"Kalau kau tidak mau memberi mereka pelajaran, mereka akan menghajar kita." Muka Randika menjadi serius. "Kau juga dengar kalau mereka sendiri yang nyari gara-gara sama kita. Kita hanya membela diri, tidak lebih. Lagipula bukankah kau berkata akan mendengarkanku? Jangan meragukan penilaianku."

Indra menganggukan kepalanya dan maju ke arah gang, tempat geng itu berada.

"Wow dia cukup nindih kita dan kita pasti mati." Salah seorang preman terpukau melihat betapa besar Indra.

Semua orang yang melihat Indra juga terdiam, mereka baru pertama kali melihat menara daging sebesar ini.

"Jangan kira mentang-mentang badanmu besar kita akan takut! Aku akan menghajarmu duluan!" Teriak pemimpin geng gagak.

Para geng gagak segera menyerbu Indra. Namun, Indra tiba-tiba menoleh ke arah Randika. "Kak, mereka semua lemah. Guru mengatakan aku tidak boleh menindas yang lebih lemah."

Randika yang mendengarnya benar-benar menjadi frustasi. "Indra, gurumu untuk sekarang adalah aku. Mereka semua itu ingin membunuh kita dan kita hanya membela diri. Lihat mereka semua membawa senjata, bukankah niat mereka jelas? Justru mereka yang ingin menindas kita, kita hanya membela diri kita!"

Indra mengangguk dan merasa semua perkataan Randika masuk akal. "Baiklah."

Setelah mereka selesai berdebat, 3 orang preman sudah berada di depan mereka. Indra hanya mengayunkan tangannya dan mereka bertiga sudah melayang bagai lalat. Ketiga orang itu langsung terkapar tak sadarkan diri.

Para preman yang lain melihat teman mereka sambil melongo.

"Dasar bodoh! Ngapain ragu? Kepung dia dan serang bersamaan!" Teriak pemimpin geng gagak.

"Mati kalian!"

Para preman itu segera menyerang dari segala arah tetapi Indra dengan muka polosnya itu tidak peduli.

Pukulan dan ayunan tongkat logam para preman ini berhasil mendarat di tubuh Indra, tetapi tidak ada perubahan ekspresi ataupun suara kesakitan dari Indra.

Semua serangan itu hanya mengenai dagingnya bahkan tidak mengenai tulangnya.

Para preman itu melongo, daging orang ini tebal sekali!

Indra lalu mengangkat satu orang dan melemparnya ke kerumunan. Seketika itu juga beberapa orang terjatuh di tanah.

Pada saat yang sama, seseorang menebas golok mereka. Tetapi, dalam sekejap pergelangan tangannya patah dan dia meringkik kesakitan.

"Indra, kau harus lebih luwes dan tidak boleh membiarkan pukulan mengenai dirimu." Randika memberi evaluasi.

"Baik." Indra segera merubah gaya bertarungnya.

Indra berubah dari pasif menjadi aktif menyerang.

Ketika kaki gajahnya itu menginjak tanah, tanah pun ikut terguncang. Indra menahan serangan-serangan yang ada bahkan meremuk tongkat logam yang dia tangkap!

Kepungan para preman ini terasa percuma. Ketika mereka berusaha menyerang dari belakang, Indra langsung berputar dengan cepat dan menjatuhkan siapapun yang mendekat. Setiap senjata yang ada menjadi debu di tangannya.

Benar-benar pendekar jenius yang lahir 100 tahun sekali!

Para preman ini terheran-heran, mana ada orang gendut yang lincah seperti ini?

Indra segera merusak formasi kepungan para preman itu dengan cepat. Seluruh senjata yang mereka bawa telah hancur ataupun telah terjatuh di tanah bersama tuan mereka.

"Indra, kecepatanmu masih kurang." Randika yang berada di belakang nampak sedang mengupil. Indra benar-benar luar biasa, dia cuma masih kurang pengalaman saja. Meskipun dia memiliki reaksi yang cepat, seorang pendekar sebenarnya tidak akan membiarkan dirinya disentuh oleh seekor nyamuk. Mungkin ada enaknya dia membawa Indra bersamanya.

Pada saat ini, Indra bagaikan dewa perang. Dia menghabisi seluruh preman yang berani menerjang.

Ketika 6 orang hendak menyerangnya dari segala arah, dia melompat dan menghentakkan kakinya keras-keras. Ketika para preman itu kehilangan keseimbangan, mereka sudah melayang jauh berkat pukulan Indra.

"Kalian semua bodoh! Sama orang segendut itu bisa kalah? Mana harga diri kalian sebagai geng terkuat wilayah ini?"

"Bos, orang gendut itu sangat kuat! Kita bukan tandingannya." Para preman ini mulai merasa malu. Dari segi jumlah dan senjata mereka unggul jauh tetapi serangan mereka tidak mampu menembus lapisan daging tebal itu. Bagaimana caranya mereka menang kalau begitu?

"Kepung dia!" Pemimpin geng lainnya tiba-tiba menyela. "Kami akan membantu, kita akan kepung dia sampai dia tidak bisa bergerak!"

Semua preman yang tidak ikut bertarung dari kedua kubu langsung menerjang maju. Pertarungan ini harus segera diselesaikan untuk menyelamatkan muka mereka.

Ketika Indra sibuk menghajar, 2 orang melompat ke punggungnya berusaha untuk menahannya dan menjatuhkannya. Beberapa orang juga ikut melompat.

Beberapa orang lainnya menyerang dan beberapa orang bergelantungan di tubuhnya, pertarungan ini benar-benar sudah bagaikan godzilla melawan manusia.

Orang-orang yang bergelantungan itu berusaha menutup mata Indra, menahan lengannya agar tidak bisa menyerang bahkan ada yang menggigitnya.

Randika yang melihat taktik musuh yang baru ini masih tetap mengupil dengan santai. Dia masih penasaran teknik apa yang akan dipakai oleh Indra.

THIS CHAPTER UPLOAD FIRST AT NOVELBIN.COM


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.